Garuda-Indonesia

Penyebab Keuangan Garuda Indonesia Berada di Ujung Tanduk

Akhir-akhir ini salah satu Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Toto Pranoto, memilih untuk mengangkat suaranya tentang penyebab merosotnya keuangan Garuda Indonesia atau maskapai plat merah.

Tidak hanya beliau seorang, menteri BUMN Erick Thohir dan wakil menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo juga turut menyumbang jawaban akan pertanyaan publik, “Mengapa keuangan Garuda Indonesia bisa sampai merosot?”.

Penyebab Krisis Keuangan Garuda Indonesia Berada di Ujung Tanduk

Jika membahas tentang penyebab tergelincirnya keuangan, tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan korupsi akan selalu menghantui. Benarkah hal tersebut juga menjadi salah satu penyebab keuangan Garuda Indonesia terus terjun payung? Berikut akan diulas secara rinci:

Efek Pandemi Terhadap Keuangan Maskapai Plat Merah

Menurut Toto Pranoto, sebelum terjadi pandemi covid-19, keuangan PT Garuda Indonesia masih terbilang aman. Hal ini dikarenakan maskapai plat merah masih mampu menghasilkan revenue atau penghasilan. Namun setelah pandemi terjadi, penghasilan tersebut kian merosot.

Lalu, Inti dari permasalahan ini terletak pada keseimbangan struktur biaya dan penghasilan PT Garuda Indonesia. Struktur biaya dan penghasilan yang kian menurun memberikan tekanan besar kepada keuangan Garuda Indonesia.

Dari Laporan keuangan Garuda yang ada pada kuartal III-2019 dan kuartal III-2020, dapat diketahui bahwa selama 9 bulan pada tahun 2019, tercatat penghasilan sebesar 3,5 milyar USD. Sedangkan selama 9 bulan di tahun 2020 hanya tercatat sebesar 1,1 milyar USD.

Sementara itu, struktur biaya pada 3 bulan pertama di tahun 2019 mencapai 3,2 milyar USD. Pada 3 bulan pertama di tahun 2020, jumlah tersebut turun hingga mencapai 2,2 milyar USD. Dari berbagai paparan Toto Pranoto di atas, tergambar kondisi keuangan Garuda yang mengenaskan.

Biaya Sewa Pesawat yang Melambung

Kartika Wirjoatmodjo membeberkan bahwa jenis pesawat yang disewa dahulu terlalu banyak dan terlalu mahal. Struktur biaya-nya sendiri melebihi maskapai lain yang sejenis. Oleh karena itu, PT Garuda Indonesia semakin terbebani semenjak pandemi terjadi.

Per bulannya, beban biaya Garuda Indonesia mencapai 150 juta dollar US. Digunakan untuk biaya operasional berupa: pembelian avtur, gaji karyawan, perawatan pesawat, dan lain-lain. Akan tetapi, pihak Garuda hanya mampu menghasilkan 50 juta dollar US.

Oleh sebab itu, PT Garuda Indonesia harus merugi dan berujung menunda kewajiban pembayaran kepada lessor atau penyedia jasa sewa pesawat terbang. Hal ini tentu membuat lessor harus menarik kembali pesawatnya karena pelanggaran kewajiban yang kerap terjadi.

Terlebih, PT Garuda Indonesia harus merelakan pesawatnya diambil kembali oleh lessor, walaupun masa sewanya atau kontraknya belum tuntas. Alhasil, maskapai plat merah hanya bisa mengoperasikan minimum sekitar 50 pesawat terbang.

Korupsi Oknum Lessor Nakal

Tidak ada asap tanpa api. Biaya sewa pesawat yang terlalu tinggi ternyata diantaranya disebabkan oleh kasus korupsi. Korupsi tersebut dilakukan oleh sekitar 36 oknum lessor yang bekerja sama dengan manajemen lama.

Menurut Erick Thohir, terdapat indikasi oknum lessor nakal yang bisa saja terbukti koruptif dan melakukan kerja sama kotor. Hal ini dapat dilakukan dengan melambungkan biaya sewa pesawat lebih tinggi daripada harga pasaran.

Erick Thohir menilai bahwa tidak semua lessor terlibat unsur koruptif. Hanya saja mengingat kondisi ekonomi global saat pandemi sangatlah kritis, tentu biaya sewa pesawat yang terlalu tinggi sangat membebani Garuda Indonesia.

Demikian penyebab dan kondisi keuangan Garuda Indonesia. Negosiasi kepada para lessor merupakan salah satu tindakan penting yang harus dilakukan. Serta, restrukturisasi PT Garuda Indonesia sangat diharapkan untuk segera dilaksanakan.